“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya adalah orang yang keras terhadap orang-orang kafir, (namun) berkasih sayang antar mereka. Engkau melihat mereka ruku‘ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Itulah sifat-sifat mereka yang mengagumkan dalam Taurat. Sedang sifat-sifat mereka yang mengagumkan dalam Injil, adalah seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya lalu ia menguatkannya lalu tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya. Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir dengannya. Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(QS . Al-Fath (Kemenangan) [48]: 29)
Syahdan, di sebuah daerah yang tak banyak ditumbuhi rerumputan dan pepohonan, sejauh mata memandang terhampar gurun pasir yang luas bagai laut tak bertepi, tentara Romawi pernah mentertawakan kebiasaan penduduknya karena mempunyai hobi mencari kumbang padang pasir di tengah keremangan malam. Namun siapa sangka dari daerah itu akan lahir seorang pemimpin agung yang akan dihormati kawan maupun lawannya. Sekalipun bayi mungil nan lucu itu lahir ke dunia tanpa pernah merasakan dekapan hangat dari seorang ayah.
Abdullah bin Abdul Muthalib ayah kandungnya telah menghadap keharibaan Ilahi Rabbi dua bulan sebelum dia mendelikkan mata pertama kali ke muka bumi. Ketika memasuki usia enam tahun, dia bersama ibunda tercinta, Aminah dan didampingi seorang pendamping bernama Ummu Aiman, bertamasya dan menempuh perjalanan jauh dari Mekah ke Madinah. Mereka bermaksud mengunjungi kerabat dekat ayahnya.
Di Madinah mereka sempat bermalam selama satu bulan. Perjalanan antara Mekah dan Madinah berjarak kurang lebih 500 kilometer dengan medan perjalanan yang cukup menguras tenaga. Melalui hamparan padang pasir yang panas membara serta melewati bebatuan terjal memaksa kafilah kecil itu berhenti menetap selama satu bulan di Madinah sebelum kembali ke Mekah. Kehadirannya di Madinah mendapat sambutan yang meriah. Sambutan hangat itu datang bukan saja dari para kerabatnya melainkan juga dari para tetangga keluarga ayahnya. Bocah lelaki bernama Muhammad itu memang terlihat lebih mempesona bila dibandingkan dengan anak-anak sebayanya.
Setelah beberapa hari menginap di rumah kerabat ayahnya, Muhammad kecil beserta ibunya kembali pulang ke Mekah. Namun takdir rupanya berkehendak lain. Di tengah perjalanan mendadak ibunya jatuh sakit. Hanya selang beberapa hari dari musibah itu, ibunya kembali keharibaan Ilahi Rabbi. Ibunda tercintanya telah pergi dan takkan pernah kembali untuk selamanya. Lengkaplah sudah penderitaan yang harus dijalani Muhammad kecil. Sejak dilahirkan tidak pernah melihat sosok seorang ayah. Dan kini usianya baru genap enam tahun sudah harus berpisah dengan ibunda tercintanya. Ummu Aiman yang termasuk dalam rombongan kecil itu tak kuasa menahan linangan air mata kepiluan seraya memeluk erat-erat Muhammad kecil dalam dekapannya.
Pasca ibunda Aminah tercinta wafat, Muhammad kecil diasuh oleh kakeknya bernama Abdul Muthalib. Sekalipun Abdul Muthalib memiliki banyak cucu tapi ia lebih mengistimewakan Muhammad kecil daripada cucu-cucunya yang lain. Hanya saja kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama. Karena kakeknya pun dipanggil Allah keharibaan-Nya. Kepergian kakeknya kembali merenggut hari-hari bahagia Muhammad kecil.
Kemudian hak asuh Muhammad kecil jatuh ke tangan pamannya, Abu Thalib. Meskipun pamannya tergolong kurang mapan secara ekonomi, namun dia tak sampai hati bila hak asuh keponakannya jatuh ke tangan orang lain. Dia tergerak untuk mengasuh Muhammad kecil, karena dialah kerabat paling dekat setelah kakeknya Abdul Muthalib wafat.
Selama tinggal bersama pamannya, Muhammad tidak hanya berdiam diri di rumah. Dia turut mencari nafkah menggembalakan hewan peliharaan para konglemerat Mekah untuk mengurangi kesulitan ekonomi keluarga pamannya. Dia sangat menikmati pekerjaannya, meskipun mencari tanah berumput di padang pasir cukup sulit. Namun dia dengan telaten dan sabar menekuni pekerjaan tersebut dari hari ke hari dengan penuh riang gembira.
Tabiat Muhammad yang terpuji lebih dikenal dengan fathonah (intellegent), amanah (accountable), siddiq (honest), tablig (cooperative), ditambah lagi dengan kepandaiannya berbisnis, membuat para konglemerat Mekah jatuh hati ingin mempercayakan bisnis mereka kepadanya. Atas dasar itulah Khadijah binti Khuwailid, seorang janda, salah satu konglemerat terkemuka Mekah meminta Muhammad menjadi partner bisnisnya. Sejak itulah Muhammad menjadi CEO kafilah bisnis Khadijah binti Khuwailid.
Keberhasilan Muhammad dalam berbisnis patut diacungkan jempol apalagi prinsip perdagangannya berpijak pada kejujuran. Konsep kejujuran Muhammad dalam melakukan perniagaan tetap relevan sampai kapan pun. Hal itu ditandai dengan diakuinya konsep kejujuran sebagai standar utama dalam perdagangan internasional dewasa ini. Seseorang yang menekuni dunia ekonomi bisnis mengatakan, bahwa setelah dia belajar teori ekonomi dan praktek berbisnis dari wilayah Timur, Barat, bahkan wilayah Amerika Latin kesimpulannya hanya satu “kejujuran.”
Diam-diam Khadijah menyimpan kekaguman, rasa simpatik, serta rasa hormat kepada Muhammad. Perlahan-lahan kekaguman Khadijah berubah menjadi rasa cinta, sekalipun ia berusia lima belas tahun lebih tua. Selang beberapa waktu kemudian, Allah mentakdirkan mereka menjadi suami istri yang saling mencintai, saling menghormati, dan saling mengasihi.
Khadijah termasuk generasi pertama yang beriman dan membenarkan dakwah Nabi Muhammad. Sangatlah wajar kalau Khadijah mendapat gelar Ummul Mukminin (ibunya orang-orang beriman), ath-Thahirah (wanita suci) dan sayidah nisa’ Quraisy (wanita penghulu kaum Quraisy). Nabi Muhammad tidak pernah menikah dengan wanita lain semasa hidup Khadijah isteri tercintanya.
Kehidupan Nabi Muhammad bersama Khadijah sangatlah bahagia, meskipun Khadijah lebih tua lima belas tahun darinya. Khadijah adalah wanita pertama yang mengakui kerasulan Muhammad. Dialah wanita pertama yang masuk Islam dan membela Nabi dengan seluruh harta, jiwa, dan raganya. Mungkin hal itulah yang menjadi alasan mendasar Nabi Muhammad sangat mencintai Khadijah. Sehingga beliau sering menyebut-menyebut Khadijah sepeninggalnya.
Ketika Nabi Muhammad menerima perintah untuk melaksanakan shalat di awal keislaman, Khadijah bersama Nabi Muhammad dan Ali melaksanakan shalat secara rahasia. Allah mentakdirkan keturunan Nabi Muhammad semuanya- kecuali Ibrahim berasal dari Khadijah. Allah menganugerahi Nabi Muhammad dan Khadijah beberapa anak: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Keutamaan yang tak kala pentingnya Allah mentakdirkan Fatimah salah satu dari anak perempuan Khadijah sebagai penerus keturunan Nabi Muhammad sepanjang sejarah.
Khadijah selalu menjadi pendamping dan penolong beliau dalam suka maupun duka, begitu juga paman beliau Abu Thalib. Dia selalu melindungi Muhammad dari berbagai makar dan teror kaum Quraisy. Tekanan Kaum Quraisy terhadap Muhammad dan para pengikutnya terus meningkat, sehingga mereka menemui banyak kesulitan. Namun segala gangguan dan rintangan itu selalu beliau hadapi dengan ketabahan, ketegaran, dan kesabaran luar biasa.
Selang beberapa waktu setelah peristiwa embargo yang dilakukan kaum Quraisy, istri yang selama ini menjadi tempat berbagi tumpuan dan harapan, pergi untuk selamanya. Perempuan suci yang pertama kali menyatakan keimanannya, perempuan mulia yang dengan tulus ikhlas mendukung perjuangan Nabi, perempuan santun yang telah melahirkan penerus risalah-risalah kenabian itu, kini telah menutup mata untuk selama-lamanya. Belum genap dua bulan perginya wanita terbaik Islam Khadijah. Berita duka kembali menggetarkan hati Nabi. Paman beliau yang selama ini menjadi benteng berlindung terakhir Nabi, di kala mendapat tekanan hebat dari kelompok Quraisy juga pergi untuk selama-lamanya.
Bisa dibayangkan betapa sedihnya Nabi karena ditinggal orang-orang yang selama ini menjadi pelindung serta penolong sejatinya. Kala Nabi terbenam dalam kesedihan yang dalam, Khadijahlah yang menghibur serta menyejukkan hatinya. Kala Nabi mendapat perlakukan kasar dari kaum Quraisy, Abu Thaliblah yang selalu melindungi kehormatannya. Jadi sangatlah wajar bila pada saat itu Nabi terbenam dalam kesedihan yang dalam setelah meninggalnya dua orang utama yang menjadi pelipur-lara dari penatnya jalan dakwah. Sedemikian besar cinta Nabi kepada mereka. Sehingga masa itu dikenal dengan Amul Huzn (Tahun Kesedihan).
Tapi Nabi Muhammad bukanlah termasuk orang yang suka tenggelam dalam kedukaan, apalagi berlarut-larut dalam kesedihan. Beliau adalah seorang insan yang memiliki kesabaran dan ketabahan yang sempurna. Beliau telah terbiasa ditimpa musibah sejak usia belia. Pasca meninggalnya paman dan istri yang ia sayangi, Nabi meneruskan tugas dakwah bersama para sahabatnya. Beliau dengan penuh keteguhan tetap melaksanakan dakwah meskipun sering menyaksikan para pengikutnya disiksa dan dibunuh. Beliau juga selalu menasehati para pengikutnya agar tetap teguh, tabah dan sabar dalam menghadapi berbagai ujian.
Penganiayaan tidak hanya dilakukan kepada orang-orang yang mendukung jalan dakwah dan memeluk Islam, tetapi juga pada Nabi. Beliau mendapat penganiayaan dari para tetangganya. Mereka memukulkan usus domba kepada Nabi ketika dia tengah melakukan shalat. Seseorang bahkan memasukkan usus domba itu ke dalam tempat masak keluarganya.
Ketika Nabi Muhammad sedang bersujud di Ka’bah, salah seorang Quraisy bernama Uqbah bin Abi Mu’ith mendatangi beliau. Tergambar jelas wajah kebencian Uqbah bin Abi Mu’ith ketika menumpahkan kotoran di atas kepala Nabi saat beliau sedang sujud. Fatimah melihat kejadian itu segera membersihkan kepala ayahnya yang mulia dari kotoran hewan sambil berurai air mata. Nabi menenangkan perasaan putri kesayangannya. “Jangan menangis, gadis kecilku, Karena Allah akan melindungi ayahmu.”
Jika Nabi Muhammad mendapatkan perlakukan tidak manusiawi, sahabat beliau pun mengalami hal yang tak kalah beratnya. Terlebih lagi mereka yang berasal dari kaum budak seperti Bilal bin Rabbah. Bilal bahkan pernah dipanggang di terik matahari di tengah gurun panas, ditimpa batu, dan didera cambuk sekujur tubuhnya. Siksaan yang berat juga dirasakan keluarga Ammar bin Yassir. Setiap hari Ammar bin Yassir, ibundanya, Sumayyah, serta ayahnya, digiring ke tengah terik padang pasir, tak ubahnya seperti hewan. Mereka dicambuk disiksa tanpa pernah kenal rasa iba sedikitpun.
Menjelang tahun kesepuluh adalah masa yang begitu berat dalam perjuangan dakwah Nabi Muhammad. Pada tahun-tahun itu, sentimen anti gerakan dakwah kian meningkat. Nabi Muhammad mencoba melakukan perluasan dakwah ke kota Thaif. Kota ini merupakan kota perdagangan seperti halnya Mekah. Meskipun penduduknya tak sepadat dengan Mekah, kota Thaif terletak di daerah yang lebih subur. Ketika Nabi Muhammad mendekati kota yang dikelilingi tembok di atas bukit itu, beliau harus berjalan melalui kebun-kebun yang indah, kebun buah-buahan dan kebun jagung. Nabi Muhammad bermaksud mengajak penduduk Thaif memeluk Islam, namun mereka merasa tersinggung akan ajakan beliau sehingga mereka mengejar dan melempari Nabi Muhammad dan Zaid bin Haritsah batu sampai-sampai Nabi Muhammad terluka.
Berbagai macam bentuk intimidasi telah dilakukan kaum Quraisy untuk menghentikan laju perahu dakwah Nabi Muhammad. Namun segala upaya mereka membentur tembok kegagalan. Kaum Quraisy merasa putus asa karena berkali-kali usaha mereka menghentikan dakwah Nabi Muhammad menemui jalan buntu. Maka mereka memutuskan untuk menghabisi beliau dengan cara menyerbu rumah kediamannya. Namun Allah menyelamatkan beliau dan mengizinkannya untuk hijrah ke Madinah.
Nabi Muhammad beserta para pengikutnya satu persatu berangkat ke Madinah. Meskipun untuk hijrah itu mereka harus meninggalkan harta, tempat kediaman, maupun keluarga mereka. Nabi Muhammad tetap tegar dalam mendaki terjalnya jalan dakwah. Meski pada saat-saat tertentu beliau merasa sedih dan kecewa, karena adanya berbagai gangguan terutama ketika kaumnya enggan menerima dakwah beliau. Maka Allah menurunkan wahyu kepada beliau, agar tidak bersedih atas berbagai kejadian itu, dan Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk tetap bersabar dalam menghadapi berbagai macam gangguan tersebut. “Bersabarlah (wahai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS. an-Nahl (Lebah) [16]: 127).
Sesuai dengan janji Allah, di balik kesulitan terdapat kemudahan. Begitu juga yang terjadi pada kaum Muslimin. Janji Allah terbukti dengan di jadikannya kota Madinah sebagai tempat bagi Nabi Muhammad dan para sahabat untuk menggalang kebersamaan serta kekuatan. Hal itu ditandai dengan keberhasilan Nabi Muhammad mempersaudarakan kaum Anshar (penolong) dan Muhajirin (orang-orang yang hijrah).
Menurut Karen Amstrong, belum pernah terjadi persaudaraan di dunia seperti yang telah dilakukan Nabi Muhammad, yaitu mempersaudarakan dua masyarakat, Muhajirin dan Anshor. Keberhasilan Muhammad mempersaudarakan keduanya adalah fenomena mencengangkan. Bayangkan saja, lewat penyatuan tersebut, kedua golongan ini mampu berbagi atas berbagai hal. Kaum Anshar rela melepaskan salah satu istri mereka untuk dinikahi oleh sahabat-sahabat mereka dari Mekah. Suatu gambaran praktis akan persaudaraan agama baru yang melebihi ikatan darah. Sampai saat ini belum pernah ada lagi peradaban manusia yang mampu melahirkan “persaudaraan” yang pernah dilahirkan dalam masyarakat bentukan Nabi Muhammad.
Sampai-sampai Allah sendiri memberikan pujian atas kebaikan yang terjadi antara kaum Anshar dan Muhajirin dalam Surat Al Hasyr. “Dan orang-orang yang telah mantap bermukim di kota (Madinah) dan keimanan sebelum (kedatangan) mereka. Mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak mendapatkan keinginan dari apa yang telah diberikan kepada mereka dan mereka mengutamakan atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memiliki keperluan mendesak; dan siapa yang dipelihara oleh Allah dari sifat kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang beruntung.” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka. Mereka berdoa: “Tuhan kami, berilah ampun buat kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami beriman, dan janganlah Engkau membiarkan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman; Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr (Pengusiran) [57]: 9-10).
Inilah awal tonggak sejarah sebuah peradaban baru, peradaban mulia yang dibangun Nabi Muhammad di Madinah. Peradaban Islam yang lahir untuk memberikan rahmat kepada semesta alam.
Sebuah prestasi mencengangkan dipertontonkan Nabi Muhammad bin Abdullah adalah pembawa risalah, pembangun umat, dan pendiri sebuah kedaulatan negara. Dalam jangka waktu yang relatif singkat selama dua puluh dua tahun, dua bulan, dua puluh dua hari, Nabi Muhammad berhasil mengubah wajah kelam dunia memasuki insight baru. Beliau menyampaikan risalahnya yang kini telah diikuti oleh sepertujuh penduduk dunia, terdiri atas pelbagai ras. Bahkan suatu pemerintahan kecil yang dia dirikan di kota Madinah, kemudian mempunyai pengaruh luar biasa menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arabia.
Dia berhasil menyingkirkan semua bentuk kerusakan, kebobrokan, serta menyatukan suku-suku yang terpecah belah menjadi bangsa Arab yang bersatu. Dia meletakkan keimanan sebagai pengikat tali persaudaraan antara seorang Muslim dengan saudaranya. Keberhasilan Nabi Muhammad itu dilanjutkan oleh generasi setelah beliau wafat ke zaman keemasan selama 700 tahun pada masa abad pertengahan.
Tidaklah berlebihan kalau Michael H. Hart, seorang penulis biografi ternama asal Amerika menulis sebuah buku The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History dan menempatkan Nabi Muhammad pada urutan nomor satu. Bagi Michael H. Hart, Nabi Muhammad adalah manusia luar biasa yang mencapai sukses baik dalam bidang keagamaan maupun dalam hubungan manusia, sosial, dan politik.
Tidak diragukan lagi bahwa Muhammad adalah pribadi yang paling cemerlang dalam sejarah bangsa Arab, bahkan sejarah manusia pada umumnya. Dalam dirinya terhimpun berbagai sifat yang tidak dimiliki oleh siapa pun, baik pribadi sebagai seorang pembawa risalah kebenaran, panglima perang, pemimpin negara, ekonom terkemuka, orator ulung, maha guru, pakar politik maupun administrator ahli.
Orang-orang besar yang mampu melakukan perubahan fundamental sehingga dunia ini menjadi tempat yang lebih indah dan damai adalah orang-orang memiliki militansi yang kuat. All great people are militants. Orang-orang besar seperti Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Umar Abdul Aziz, Salahuddin Al-Ayubi, Yulius Caesar, Napoleon Bonaparte, Gandhi, Martin Luther King, Abraham Lincoln, mereka adalah orang-orang militan. Orang-orang militan penuh keyakinan, memegang teguh prinsip, dan tidak berubah-ubah dalam pikiran dan pendapatnya. Mereka akan melakukan sesuatu berdasarkan apa yang mereka yakini. Karena kebahagiaan akan dapat terealisasi bila seseorang konsisten dengan keyakinannya. Kebahagiaan akan berbuah ranum bila sesuai dengan keimanan dan semakin besar intensitas iman itu, semakin besar hasil yang diperoleh.
Wahai Rasûlullah, yang mulia.
Ketika diri yang hina ini terperangkap dalam lorong kegetiran hidup, engkaulah embun penyejuk di tengah kesunyian jiwa yang gersang. Allah yang Maha Baik itu telah mengutusmu sebagai penyelamat umat manusia agar mereka tidak tersesat ke dalam lubang hitam penderitaan.
Di dalam kekalutan jiwa, kami dapat merasakan kehadiranmu laksana lembayung yang tersenyum ramah dilangit biru. Yang memberikan kedamaian dalam kehampaan yang panjang.
Wahai Rasûlullah, yang Mulia
Kala telaga hati kami kering-kerontang, yang tersisa hanyalah kekeruhan. Namun bila tenggelam dalam menelisik kisah perjuangan beratmu “wahai pejuang sejati, Rasulullah yang bijak bestari, Muhammad Saw, perlahan-lahan kembali jernihlah hati kami. Kini semakin tergurat jelas betapa syahdunya bila dapat mengikuti jejak langkah petualanganmu dalam menebarkan cinta kasih terhadap sesama.
Wahai Rasûlullah, yang Mulia
Kami rindu ingin bertemu denganmu. Bolehkah jiwa yang galau ini mengecup tanganmu-. Bolehkah hati yang gundah ini menyapamu.Shalawat dan salam untukmu selalu.
Iklan